Hukum Memaksa Anak Gadis Menikah
Assalammualaikum ustadz
ustadz saya mau bertanya
mengenai sepupu saya dipaksa menikah dengan pilihan dari orangtuanya Bagaimana hukum jika wanita di paksa , sedangkan wanita tersebut tidak mau. Jazakallah khoir ustad.
Dari : Ibu Ainun Analisa, di Surabaya.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Bismillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah, amma ba’du.
Pertama, perlu kita ketahui bahwa, kerido’an mempelai pengantin untuk mengikrarkan ikatan pernikahan adalah sebuah kewajiban.
Islam menolak pemaksaan orang tua kepada anak gadisnya untuk menikahi laki-laki pilihan orang tua, sementara Sang anak tidak menyukai. Jadi nikah itu dibangun atas dasar cinta dan kasih-sayang. Karena diantara tujuan pernikahan adalah untuk meraih sakinah mawaddah wa rahmah (ketentraman, ketulusan cinta dan kasih-sayang). Hal ini akan sulit tercapai bila pernikahan dibangun atas dasar pemaksaan.
Kedua, manusia tak bisa memaksakan cinta.
Cinta adalah ekspresi naluri yang tak bisa dipaksakan. Al-Quranpun memaklumi bahwa cinta tak bisa dipaksakan bagaimanapun keadaannya. Allah ta’ala berfirman,
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَة
“Kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil kepada istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Maka janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” (QS. an-Nisaa’: 129)
“Sebagian ahli tafsir (menjelaskan makna firman Allah ta’ala), ‘Kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu)…’, maksudnya adalah: engkau tak akan mampu berlaku adil dalam hal perasaan yang tersimpan dalam hati (red. rasa cinta). ” Jelas Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitab Al-Umm (5/158)
Ketiga, Nabipun tak memaksa.
Kejadian yang seperti ini pernah terjadi di masa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam. Mari kita lihat bagaimana baginda Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menyikapinya.
Disebutkan dalam riwayat dari shohabiyyah Khansa’ binti Khidzam Al-Anshariyah radhiallahu anha,
أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ فَأَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَهَا
“Bahwa ayahnya menikahkan dia -ketika itu dia janda- dengan laki-laki yang tidak disukai. Maka dia datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (untuk mengadu) maka Nabi shallallahu alaihi wasallam membatalkan pernikahannya.” (HR. Bukhari no. 5138)
Di kesempatan yang lain, Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma menceritakan seorang gadis yang pernah menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, mengadukan ayahnya yang telah menikahkan gadis tersebut tanpa keridhoan hatinya. Lantas Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan pilihan kepada Sang Gadis; apakah ia ingin meneruskan ataukah membatalkan pernikahannya. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2096 dan Ibnu Majah no. 1875)
Secara tegas, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam melarang melalui sabdanya,
لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ
“Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta musyawarahnya. Demikian seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta ijinnya.”
Para Shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimanakah ijinnya?”
“Bila ia diam.” Jawab Rasulullah.
( HR. Bukhori no. 5136, Muslim no. 1419, Abu Dawud no. 2092, at-Tirmidzi (no. 1107), Ibnu Majah no. 1871 dan An-Nasai VI/86 )
Dalam hadis yang lain, Nabi shallahu’alaihiwasallam juga tegas mengatakan,
الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ يَسْتَأْذِنُهَا أَبُوهَا فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا
“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan maka ayahnya harus meminta persetujuan dari dirinya. Dan persetujuannya adalah diamnya.” (HR. Muslim no. 1421, dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma)
Dari hadis-hadis di ataslah kemudian mayoritas ulama (Jumhur) seperti mazhab Hanafi, Imam Ahmad, Al-Auza’i, Ats-Tsauri, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -semoga rahmat Allah menyertai mereka-, menyimpulkan, bahwa kerelaan seorang gadis untuk menerima lelaki yang meminangnya, adalah kewajiban. Memakasanya untuk menikah adalah perbuatan haram. (Lihat : Shahih Fiqh Sunnah, 3/127)
Sampai-sampai, Imam Bukhari memberikan judul bab dalam kitab shahih beliau terhadap hadits di atas,
باب لا ينكح الأب وغيره البكر والثيب إلا برضاها
“Bab: Seorang ayah atau wali lainnya, tidak boleh menikahkan anak gadisnya atau wanita janda, kecuali atas dasar kerelaan wanita yang hendak ia nikahkan.”
Dalam kitab Fathul Bari, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani memberikan catatan atas judul bab yang ditulis oleh Imam Bukhari di atas,
إن الترجمة معقودة لاشتراط رضا المزوجة بكرا كانت أو ثيبا صغيرة كانت أو كبيرة ، وهو الذي يقتضيه ظاهر الحديث
“Judul bab ini menjelaskan, bahwa disyaratkannya ridho dari mempelai wanita (dalam pernikahan), baik yang masih gadis ataupun janda; janda muda ataupun tua. Inilah yang sesuai dengan dzohir hadis.”
Sahkah Nikahnya?
Jika sudah terjadi, status akad nikahnya tidak sah. Menjadi sah jika kemudian Sang Gadis ridho. Namun, meski tidak sah, jika sudah terjadi mempelai wanita tidak boleh menikah lagi kecuali setelah mendapatkan cerai dari suaminya, atau ikatan pernikahan telah dibatalkan oleh KUA setempat.
Dan dalam kondisi ini, suami tidak boleh menyetubuhi istrinya sampai sang istri rela dinikahinya. Karena pernikahan tersebut tidak sah, akan menjadi sah jika istri telah merelakan. (Lihat : Liqo’ As-Syahri, Ibnu Utsaimin, 1/343)
Saran kami: Hendaknya para orang tua bertakwa kepada Allah. Kemudian mencari suasana yang pas dan nyaman untuk meminta persetujuan puterinya sebelum menikahkannya dengan lelaki pilihan orang tua. Agar ia tenang dan bahagia dalam menjalani bahtera rumah tangga. Demikian keberkahan dan mawaddah war rahmah dapat tercapai dalam pernikahannya. Kita tentu tak ingin anak kita merana, dalam menjalani bahtera rumah tangga, hanya dikarenakan ego kita yang sesaat.
Sekian.
Wallahua’lam bis showab.
****
Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta)
Sumber : KonsultasiSyariah.com
Mari Berkontribusi
Apakah Anda ingin menjadi bagian dari perubahan positif dan membangun masa depan yang lebih baik?